Sejarah agama Buddha
Sejarah agama Buddha mulai dari abad ke-6 SM sampai sekarang dari lahirnya sang Buddha Siddharta Gautama. Dengan ini, ini adalah salah satu agama tertua yang masih dianut di dunia. Selama masa ini, agama ini sementara berkembang, unsur kebudayaan India, ditambah dengan unsur-unsur kebudayaan Helenistik (Yunani), Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Dalam proses perkembangannya ini, agama ini praktis telah menyentuh hampir seluruh benua Asia. Sejarah agama Buddha juga ditandai dengan perkembangan banyak aliran dan mazhab, serta perpecahan-perpecahan. Yang utama di antaranya adalah aliran tradisi Theravada , Mahayana, dan Vajrayana (Bajrayana), yang sejarahnya ditandai dengan masa pasang dan surut.
[sunting] Kehidupan Buddha
Artikel utama: Gautama BuddhaMenurut tradisi Buddha, tokoh historis Buddha Siddharta Gautama dilahirkan dari suku Sakya pada awal masa Magadha (546–324 SM), di sebuah kota, selatan pegunungan Himalaya yang bernama Lumbini. Sekarang kota ini terletak di Nepal sebelah selatan. Ia juga dikenal dengan nama Sakyamuni (harafiah: orang bijak dari kaum Sakya").
Setelah kehidupan awalnya yang penuh kemewahan di bawah perlindungan ayahnya, raja Kapilavastu (kemudian hari digabungkan pada kerajaan Magadha), Siddharta melihat kenyataan kehidupan sehari-hari dan menarik kesimpulan bahwa kehidupan nyata, pada hakekatnya adalah kesengsaraan yang tak dapat dihindari. Siddharta kemudian meninggalkan kehidupan mewahnya yang tak ada artinya lalu menjadi seorang pertapa. Kemudian ia berpendapat bahwa bertapa juga tak ada artinya, dan lalu mencari jalan tengah (majhima patipada ). Jalan tengah ini merupakan sebuah kompromis antara kehidupan berfoya-foya yang terlalu memuaskan hawa nafsu dan kehidupan bertapa yang terlalu menyiksa diri.
Di bawah sebuah pohon bodhi, ia berkaul tidak akan pernah meninggalkan posisinya sampai ia menemukan Kebenaran. Pada usia 35 tahun, ia mencapai Pencerahan. Pada saat itu ia dikenal sebagai Gautama Buddha, atau hanya "Buddha" saja, sebuah kata Sansekerta yang berarti "ia yang sadar" (dari kata budh+ta).
Untuk 45 tahun selanjutnya, ia menelusuri dataran Gangga di tengah India (daerah mengalirnya sungai Gangga dan anak-anak sungainya), sembari menyebarkan ajarannya kepada sejumlah orang yang berbeda-beda.
Keengganan Buddha untuk mengangkat seorang penerus atau meresmikan ajarannya mengakibatkan munculnya banyak aliran dalam waktu 400 tahun selanjutnya: pertama-tama aliran-aliran mazhab Buddha Nikaya, yang sekarang hanya masih tersisa Theravada, dan kemudian terbentuknya mazhab Mahayana, sebuah gerakan pan-Buddha yang didasarkan pada penerimaan kitab-kitab baru.
[sunting] Tahap awal agama Buddha
Sebelum disebarkan di bawah perlindungan maharaja Asoka pada abad ke-3 SM, agama Buddha kelihatannya hanya sebuah fenomena kecil saja, dan sejarah peristiwa-peristiwa yang membentuk agama ini tidaklah banyak tercatat. Dua konsili (sidang umum) pembentukan dikatakan pernah terjadi, meski pengetahuan kita akan ini berdasarkan catatan-catatan dari kemudian hari. Konsili-konsili (juga disebut pasamuhan agung) ini berusaha membahas formalisasi doktrin-doktrin Buddhis, dan beberapa perpecahan dalam gerakan Buddha.[sunting] Konsili Buddha Pertama (abad ke-5 SM)
Konsili pertama Buddha diadakan tidak lama setelah Buddha wafat di bawah perlindungan raja Ajatasattu dari Kekaisaran Magadha, dan dikepalai oleh seorang rahib bernama Mahakassapa, di Rajagaha(sekarang disebut Rajgir). Tujuan konsili ini adalah untuk menetapkan kutipan-kutipan Buddha (sutta (Buddha)) dan mengkodifikasikan hukum-hukum monastik (vinaya): Ananda, salah seorang murid utama Buddha dan saudara sepupunya, diundang untuk meresitasikan ajaran-ajaran Buddha, dan Upali, seorang murid lainnya, meresitasikan hukum-hukum vinaya. Ini kemudian menjadi dasar kanon Pali, yang telah menjadi teks rujukan dasar pada seluruh masa sejarah agama Buddha.[sunting] Konsili Kedua Buddha (383 SM)
Konsili kedua Buddha diadakan oleh raja Kalasoka di Vaisali, mengikuti konflik-konflik antara mazhab tradisionalis dan gerakan-gerakan yang lebih liberal dan menyebut diri mereka sendiri kaum Mahasanghika.Mazhab-mazhab tradisional menganggap Buddha adalah seorang manusia biasa yang mencapai pencerahan, yang juga bisa dicapai oleh para bhiksu yang mentaati peraturan monastik dan mempraktekkan ajaran Buddha demi mengatasi samsara dan mencapai arhat. Namun kaum Mahasanghika yang ingin memisahkan diri, menganggap ini terlalu individualistis dan egois. Mereka menganggap bahwa tujuan untuk menjadi arhat tidak cukup, dan menyatakan bahwa tujuan yang sejati adalah mencapai status Buddha penuh, dalam arti membuka jalan paham Mahayana yang kelak muncul. Mereka menjadi pendukung peraturan monastik yang lebih longgar dan lebih menarik bagi sebagian besar kaum rohaniwan dan kaum awam (itulah makanya nama mereka berarti kumpulan "besar" atau "mayoritas").
Konsili ini berakhir dengan penolakan ajaran kaum Mahasanghika. Mereka meninggalkan sidang dan bertahan selama beberapa abad di Indian barat laut dan Asia Tengah menurut prasasti-prasasti Kharoshti yang ditemukan dekat Oxus dan bertarikh abad pertama.
Lihat pula: mazhab awal Buddha
[sunting] Dakwah Asoka (+/- 260 SM)
Maharaja Asoka dari Kekaisaran Maurya (273–232 SM) masuk agama Buddha setelah menaklukkan wilayah Kalingga (sekarang Orissa) di India timur secara berdarah. Karena menyesali perbuatannya yang keji, sang maharaja ini lalu memutuskan untuk meninggalkan kekerasan dan menyebarkan ajaran Buddha dengan membangun stupa-stupa dan pilar-pilar di mana ia menghimbau untuk menghormati segala makhluk hidup dan mengajak orang-orang untuk mentaati Dharma. Asoka juga membangun jalan-jalan dan rumah sakit-rumah sakit di seluruh negeri.Periode ini menandai penyebaran agama Buddha di luar India. Menurut prasasti dan pilar yang ditinggalkan Asoka (piagam-piagam Asoka), utusan dikirimkan ke pelbagai negara untuk menyebarkan agama Buddha, sampai sejauh kerajaan-kerajaan Yunani di barat dan terutama di kerajaan Baktria-Yunani yang merupakan wilayah tetangga. Kemungkinan besar mereka juga sampai di daerah Laut Tengah menurut prasasti-prasasti Asoka.
[sunting] Konsili Buddha Ketiga (+/- 250 SM)
Maharaja Asoka memprakarsai Konsili Buddha ketiga sekitar tahun 250 SM di Pataliputra (sekarang Patna). Konsili ini dipimpin oleh rahib Moggaliputta. Tujuan konsili adalah rekonsiliasi mazhab-mazhab Buddha yang berbeda-beda, memurnikan gerakan Buddha, terutama dari faksi-faksi oportunistik yang tertarik dengan perlindungan kerajaan dan organisasi pengiriman misionaris-misionaris Buddha ke dunia yang dikenal.Kanon Pali (Tipitaka, atau Tripitaka dalam bahasa Sansekerta, dan secara harafiah berarti "Tiga Keranjang"), yang memuat teks-teks rujukan tradisional Buddha dan dianggap diturunkan langsung dari sang Buddha, diresmikan penggunaannya saat itu. Tipitaka terdiri dari doktrin (Sutra Pitaka), peraturan monastik (Vinaya Pitaka) dan ditambah dengan kumpulan filsafat (Abhidharma Pitaka).
Usaha-usaha Asoka untuk memurnikan agama Buddha juga mengakibatkan pengucilan gerakan-gerakan lain yang muncul. Terutama, setelah tahun 250 SM, kaum Sarvastidin (yang telah ditolak konsili ketiga, menurut tradisi Theravada) dan kaum Dharmaguptaka menjadi berpengaruh di India barat laut dan Asia Tengah, sampai masa Kekaisaran Kushan pada abad-abad pertama Masehi. Para pengikut Dharmaguptaka memiliki ciri khas kepercayaan mereka bahwa sang Buddha berada di atas dan terpisah dari anggota komunitas Buddha lainnya. Sedangkan kaum Sarvastivadin percaya bahwa masa lampau, masa kini dan masa depan terjadi pada saat yang sama.
[sunting] Dunia Helenistik
Beberapa prasati Piagam Asoka menulis tentang usaha-usaha yang telah dilaksanakan oleh Asoka untuk mempromosikan agama Buddha di dunia Helenistik (Yunani), yang kala itu berkesinambungan tanpa putus dari India sampai Yunani. Piagam-piagam Asoka menunjukkan pengertian yang mendalam mengenai sistem politik di wilayah-wilayah Helenistik: tempat dan lokasi raja-raja Yunani penting disebutkan, dan mereka disebut sebagai penerima dakwah agama Buddha: Antiokhus II Theos dari Kerajaan Seleukus (261–246 SM), Ptolemeus II Filadelfos dari Mesir (285–247 SM), Antigonus Gonatas dari Makedonia (276–239 SM), Magas dari Kirene (288–258 SM), dan Alexander dari Epirus (272–255 SM).- "Penaklukan Dharma telah dilaksanakan dengan berhasil, pada perbatasan dan bahkan enam ratus yojana (6.400 kilometer) jauhnya, di mana sang raja Yunani Antiochos memerintah, di sana di mana empat raja bernama Ptolemeus, Antigonos, Magas dan Alexander bertakhta, dan juga di sebelah selatan di antara kaum Chola, Pandya, dan sejauh Tamraparni." (Piagam Asoka, Piagam Batu ke-13, S. Dhammika)
- "Ketika sang thera (sesepuh) Moggaliputta, sang pencerah agama sang Penakluk (Asoka) telah menyelesaikan Konsili (ke-3) […], beliau mengirimkan thera-thera, yang satu kemari yang lain ke sana: […] dan ke Aparantaka (negeri-negeri barat yang biasanya merujuk Gujarat dan Sindhu), beliau mengirimkan seorang Yunani (Yona) bernama Dhammarakkhita". (Mahavamsa XII).
Mulai dari tahun 100 SM, simbol "bintang di tengah mahkota", juga secara alternatif disebut "cakra berruji delapan" dan kemungkinan dipengaruhi desain Dharmacakra Buddha, mulai muncul di koin-koin raja Yahudi, Raja Alexander Yaneus (103-76 SM). Alexander Yaneus dihubungkan dengan sekte falsafi Yunani, kaum Saduki dan dengan ordo monastik Essenes, yang merupakan cikal-bakal agama Kristen. Penggambaran cakra atau roda berruji delapan ini dilanjutkan oleh jandanya, Ratu Alexandra, sampai orang Romawi menginvasi Yudea pada 63 SM.
Batu-batu nisan Buddha dari era Ptolemeus juga ditemukan di kota Alexandria, dengan hiasan Dharmacakra (Tarn, "The Greeks in Bactria and India"). Dalam mengkomentari keberadaan orang-orang Buddha di Alexandria, beberapa pakar menyatakan bahwa “Kelak pada tempat ini juga beberapa pusat agama Kristen yang paling aktif didirikan” (Robert Linssen "Zen living").
[sunting] Ekspansi ke Asia
Di daerah-daerah sebelah timur anak benua Hindia (sekarang Myanmar), Budaya India banyak memengaruhi sukubangsa Mon. Dikatakan suku Mon mulai masuk agama Buddha sekitar tahun 200 SM berkat dakwah maharaja Asoka dari India, sebelum perpecahan antara aliran Mahayana dan Hinayana. Candi-candi Buddha Mon awal, seperti Peikthano di Myanmar tengah, ditarikh berasal dari abad pertama sampai abad ke-5 Masehi.Seni Buddha suku Mon terutama dipengaruhi seni India kaum Gupta dan periode pasca Gupta. Gaya manneris mereka menyebar di Asia Tenggara mengikuti ekspansi kerajaan Mon antara abad ke-5 dan abad ke-8. Aliran Theravada meluas di bagian utara Asia Tenggara di bawah pengaruh Mon, sampai diganti secara bertahap dengan aliran Mahayana sejak abad ke-6.
Agama Buddha konon dibawa ke Sri Lanka oleh putra Asoka Mahinda dan enam kawannya semasa abad ke-2 SM. Mereka berhasil menarik Raja Devanampiva Tissa dan banyak anggota bangsawan masuk agama Buddha. Inilah waktunya kapan wihara Mahavihara, pusat aliran Ortodoks Singhala, dibangunt. Kanon Pali dimulai ditulis di Sri Lanka semasa kekuasaan Raja Vittagamani (memerintah 29–17 SM), dan tradisi Theravada berkembang di sana. Beberapa komentator agama Buddha juga bermukim di sana seperti Buddhaghosa (abad ke-4 sampai ke-5). Meski aliran Mahayana kemudian mendapatkan pengaruh kala itu, akhirnya aliran Theravada yang berjaya dan Sri Lanka akhirnya menjadi benteng terakhir aliran Theravada, dari mana aliran ini akan disebarkan lagi ke Asia Tenggara mulai abad ke-11.
Ada pula sebuah legenda, yang tidak didukung langsung oleh bukti-bukti piagam, bahwa Asoka pernah mengirim seorang misionaris ke utara, melalui pegunungan Himalaya, menuju ke Khotan di dataran rendah Tarim, kala itu tanah sebuah bangsa Indo-Eropa, bangsa Tokharia.
Lihat pula: Piagam-piagam Asoka
[sunting] Penindasan oleh dinasti Sungga (abad ke-2 sampai abad ke-1 SM)
Dinasti Sungga (185–73 SM) didirikan pada tahun 185 SM, kurang lebih 50 tahun setelah mangkatnya maharaja Asoka. Setelah membunuh Raja Brhadrata (raja terakhir dinasti Maurya), hulubalang tentara Pusyamitra Sunga naik takhta. Ia adalah seorang Brahmana ortodoks, dan Sunga dikenal karena kebencian dan penindasannya terhadap kaum-kaum Buddha. Dicatat ia telah "merusak wihara dan membunuh para bhiksu" (Divyavadana, pp. 429–434): 84.000 stupa Buddha yang telah dibangun Asoka dirusak (R. Thaper), dan 100 keping koin emas ditawarkan untuk setiap kepala bhiksu Buddha (Indian Historical Quarterly Vol. XXII, halaman 81 dst. dikutip di Hars.407). Sejumlah besar wihara Buddha diubah menjadi kuil Hindu, seperti di Nalanda, Bodhgaya, Sarnath, dan Mathura.Lihat pula: Kekaisaran Sungga
[sunting] Interaksi Buddha-Yunani (abad ke-2 sampai abad pertama Masehi)
Di wilayah-wilayah barat Anak benua India, kerajaan-kerajaan Yunani yang bertetangga sudah ada di Baktria (sekarang di Afghanistan utara) semenjak penaklukan oleh Alexander yang Agung pada sekitar 326 SM: pertama-tama kaum Seleukus dari kurang lebih tahun 323 SM, lalu Kerajaan Baktria-Yunani dari kurang lebih tahun 250 SM.Raja Baktria-Yunani Demetrius I dari Baktria, menginvasi India pada tahun 180 SM dan sampai sejauh Pataliputra. Kemudian sebuah Kerajaan Yunani-India didirikan yang akan lestari di India bagian utara sampai akhir abad pertama SM.
Agama Buddha berkembang di bawah naungan raja-raja Yunani-India, dan pernah diutarakan bahwa maksud mereka menginvasi India adalah untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap Kekaisaran Maurya dan melindungi para penganut Buddha dari penindasan kaum Sungga (185–73 SM).
Salah seorang raja Yunani-India yang termasyhur adalah Raja Menander I (yang berkuasa dari +/- 160–135 SM). Kelihatannya beliau masuk agama Buddha dan digambarkan dalam tradisi Mahayana sebagai salah satu sponsor agama ini, sama dengan maharaja Asoka atau seorang raja Kushan dari masa yang akan datang, raja Kaniska. Koin-koin Menander memuat tulisan "Raja Penyelamat" dalam bahasa Yunani, dan "Maharaja Dharma" dalam aksara Kharosti. Pertukaran budaya secara langsung ditunjukkan dalam dialog Milinda Panha antara raja Yunani Menander I dan sang bhiksu Nagasena pada sekitar tahun 160 SM. Setelah mangkatnya, maka demi menghormatinya, abu pembakarannya diklaim oleh kota-kota yang dikuasainya dan ditaruh di stupa-stupa tempat pemujaannya, mirip dengan sang Buddha Gautama (Plutarkhus, Praec. reip. ger. 28, 6).
Interaksi antara budaya Yunani dan Buddha kemungkinan memiliki pengaruh dalam perkembangan aliran Mahayana, sementara kepercayaan ini mengembangkan pendekatan falsafinya yang canggih dan perlakuan Buddha yang mirip dengan Dewa-Dewa Yunani. Kira-kira juga kala seperti ini pelukisan Buddha secara antropomorfis dilakukan, seringkali dalam bentuk gaya seni Buddha-Yunani: "One might regard the classical influence as including the general idea of representing a man-god in this purely human form, which was of course well familiar in the West, and it is very likely that the example of westerner's treatment of their gods was indeed an important factor in the innovation" (Boardman, "The Diffusion of Classical Art in Antiquity").
Lihat pula: Agama Buddha-Yunani
[sunting] Berkembangnya aliran Mahayana (Abad Pertama SM-Abad ke-2)
Berkembangnya agama Buddha Mahayana dari abad ke-1 SM diiringi dengan perubahan kompleks politik di India barat laut. Kerajaan-kerajaan Yunani-India ini secara bertahap dikalahkan dan diasimilasi oleh kaum nomad Indo-Eropa yang berasal dari Asia Tengah, yaitu kaum Schytia India, dan lalu kaum Yuezhi, yang mendirikan Kekaisaran Kushan dari kira-kira tahun 12 SM.Kaum Kushan menunjang agama Buddha dan konsili keempat Buddha kemudian dibuka oleh maharaja Kanishka, pada kira-kira tahun 100 Masehi di Jalandhar atau di Kashmir. Peristiwa ini seringkali diasosiasikan dengan munculnya aliran Mahayana secara resmi dan pecahnya aliran ini dengan aliran Theravada. Mazhab Theravada tidak mengakui keabsahan konsili ini dan seringkali menyebutnya "konsili rahib bidaah".
Konon Kanishka mengumpulkan 500 bhiksu di Kashmir, yang dikepalai oleh Vasumitra, untuk menyunting Tripitaka dan memberikan komentar. Maka konon pada konsili ini telah dihasilkan 300.000 bait dan lebih dari 9 juta dalil-dalil. Karya ini memerlukan waktu 12 tahun untuk diselesaikan.
Konsili ini tidak berdasarkan kanon Pali yang asli (Tipitaka). Sebaliknya, sekelompok teks-teks suci diabsahkan dan juga prinsip-prinsip dasar doktrin Mahayana disusun. Teks-teks suci yang baru ini, biasanya dalam bahasa Gandhari dan aksara Kharosthi kemudian ditulis ulang dalam bahasa Sansekerta yang sudah menjadi bahasa klasik. Bagi banyak pakar hal ini merupakan titik balik penting dalam penyebaran pemikiran Buddha.
Wujud baru Buddhisme ini ditandai dengan pelakuan Buddha yang mirip dilakukan bagaikan Dewa atau bahkan Tuhan. Gagasan yang berada di belakangnya ialah bahwa semua makhluk hidup memiliki alam dasar Buddha dan seyogyanya bercita-cita meraih "Kebuddhaan". Ada pula sinkretisme keagamaan terjadi karena pengaruh banyak kebudayaan yang berada di India bagian barat laut dan Kekaisaran Kushan.
[sunting] Penyebaran Mahayana (Abad pertama sampai abad ke-10 Masehi)
Dari saat itu dan dalam kurun waktu beberapa abad, Mahayana berkembang dan menyebar ke arah timur. Dari India ke Asia Tenggara, lalu juga ke utara ke Asia Tengah, Tiongkok, Korea, dan akhirnya Jepang pada tahun 538.[sunting] Kelahiran kembali Theravada (abad ke-11 sampai sekarang)
Mulai abad ke-11, hancurnya agama Buddha di anak benua India oleh serbuan Islam menyebabkan kemunduran aliran Mahayana di Asia Tenggara. Rute daratan lewat anak benua India menjadi bahaya, maka arah perjalanan laut langsung di antara Timur Tengah lewat Sri Lanka dan ke Cina terjadi, menyebabkan dipeluknya aliran Theravada Pali kanon, lalu diperkenalkan ke daerah sekitarnya sekitar abad ke-11 dari Sri Lanka.Raja Anawrahta (1044–1077), pendiri sejarah kekaisaran Birma, mempersatukan negara dan memeluk aliran Theravada. Ini memulai membangun ribuan candi Budha Pagan, ibu kota, di antara abad ke-11 dan abad ke-13. Sekitar 2.000 di antaranya masih berdiri. Kekuasaan orang Birma surut dengan kenaikan orang Thai, dan dengan ditaklukannya ibu kota Pagan oleh orang Mongolia pada 1287, tetapi aliran Buddha Theravada masih merupakan kepercayaan utama rakyat Myanmar sampai hari ini.
Kepercayaan Theravada juga dipeluk oleh kerajaan etnik Thai Sukhothai sekitar 1260. Theravada lebih jauh menjadi kuat selama masa Ayutthaya (abad ke-14 sampai abad ke-18), menjadi bagian integral masyarakat Thai. Di daratan Asia Tenggara, Theravada terus menyebar ke Laos dan Kamboja pada abad ke-13.
Tetapi, mulai abad ke-14, di daerah-daerah ujung pesisir dan kepulauan Asia Tenggara, pengaruh Islam ternyata lebih kuat, mengembang ke dalam Malaysia, Indonesia, dan kebanyakan pulau hingga ke selatan Filipina.
PERTANYAAN2 penting tentang agama BUDDHA :
Tanya 01 :
Apakah dalam Agama Buddha ada surga dan neraka, seperti dalam agama lain?
Jawab :
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa terdapat
tiga tujuan hidup seorang umat Buddha yaitu bahagia di dunia, kemudian,
bahagia setelah kehidupan ini yaitu terlahir di alam surga dan juga
bahagia karena terbebas dari kelahiran kembali ketika seseorang telah
mencapai Nibbana. Dengan demikian, dalam Agama Buddha pasti ada surga
maupun neraka. Bahkan, surga dalam Agama Buddha lebih dari satu
tingkat. Banyaknya jenis alam surga ini karena tingkat kebajikan yang
dilakukan seseorang tidaklah sama dengan kebajikan yang dilakukan oleh
orang lain. Jadi, mereka yang lebih banyak melakukan kebajikan akan
terlahir di surga yang lebih tinggi dan lebih lama daripada mereka yang
kurang kebajikannya. Hal ini hampir sama dengan orang yang mempunyai
uang lebih banyak tentunya akan mempunyai kesempatan membeli kendaraan
lebih banyak pula daripada mereka yang mempunyai uang lebih sedikit.
Kendaraan yang mampu dibeli juga berbeda fasilitasnya. Semakin kaya
seseorang, tentu semakin bagus pula fasilitas kendaraan yang dapat ia
peroleh. Jadi, para prinsipnya, perbanyak kebajikan dengan badan,
ucapan serta pikiran maka seseorang akan terlahir di surga yang lebih
baik daripada mereka yang kurang kebajikannya.
Sebaliknya, selain alam surga sebagai buah kebajikan
yang dilakukan seseorang semasa hidupnya, maka tentu terdapat pula alam
menderita atau alam neraka yang merupakan buah perilaku buruk yang
pernah dijalani selama hidup yang sebelumnya. Alam neraka juga
mempunyai banyak tingkat. Dengan demikian, semakin jahat perilaku
seseorang, semakin buruk pula kondisi neraka yang ia jumpai. Hal ini
sama dengan penjahat yang melakukan banyak kejahatan akan mendapatkan
hukuman yang lebih berat daripada penjahat yang bentuk kejahatannya
tidak terlalu berat.
Tanya 02 :
Setelah manusia meninggal masih adakah surga
atau neraka yang kekal? Bagaimana kita bisa tahu jalan menuju ke surga
/ Nibbana? Apa yang dijadikan patokan bahwa jalan kita yang dilewati
itu benar?
Jawab :
Dalam pengertian Buddhis, seseorang yang meninggal
akan segera terlahir kembali di alam surga atau neraka sesuai dengan
buah kamma yang ia miliki. Mereka yang mempunyai banyak kamma baik akan
terlahir di surga atau alam bahagia. Mereka yang banyak mempunyai kamma
buruk akan terlahir di alam menderita, termasuk alam neraka. Namun,
alam surga maupun neraka dalam Dhamma disebutkan tidak kekal. Oleh
karena itu, ketika buah kamma yang mendukung kelahiran di suatu alam
telah habis, maka mahluk itu akan meninggal dari alam tersebut untuk
terlahir kembali di alam yang sesuai.
Dan, untuk mengetahui jalan ke surga maupun Nibbana,
dalam uraian di atas sudah dijelaskan bahwa Ajaran Sang Buddha
memberikan bukti dengan menguraikan cara-cara untuk mencapai
kebahagiaan di dunia. Pada pokoknya disebutkan bahwa segala suka dan
duka hanyalah akibat permainan pikiran sendiri. Pikiran akan bahagia
ketika keinginan tercapai, sebaliknya pikiran menderita ketika
keinginan tidak tercapai. Dengan memahami kenyataan ini, seseorang
hendaknya melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan agar ia mampu
mengendalikan keinginan. Kemampuan untuk mengendalikan keinginan inilah
yang akan menimbulkan kebahagiaan dalam batin seseorang. Kebahagiaan
dalam batin ini juga akan mengkondisikan kebahagiaan di lingkungannya.
Kebahagiaan di lingkungan akan mampu mewujudkan kebahagiaan di dunia.
Setelah seseorang mampu membuktikan kebenaran Ajaran Sang Buddha untuk
mencapai kebahagiaan di dunia, maka ia tentunya akan lebih yakin bahwa
Dhamma Ajaran Sang Buddha mampu juga memberikan jalan hidup bahagia
dengan terlahir di alam surga. Ia juga akan yakin bahwa pelaksanaan
Buddha Dhamma akan mengkondisikan seseorang mencapai kesucian atau
Nibbana dalam kehidupan ini juga. Jadi, kunci keyakinan pada Buddha
Dhamma adalah kesempatan untuk membuktikan terlebih dahulu kebenaran
Dhamma dalam kehidupan ini juga.
Tanya 03 :
Apakah Agama Buddha percaya adanya malaikat dan hantu?
Jawab :
Malaikat atau lebih dikenal dalam istilah Buddhis
sebagai dewa dan dewi adalah para penghuni surga. Sedangkan hantu
adalah mahluk halus dalam Agama Buddha disebutkan ada beberapa jenis.
Ada mahluk yang disebut sebagai setan kelaparan, ada juga yang disebut
setan raksasa maupun berbagai jenis lainnya. Oleh karena itu, sudah
jelas bahwa Agama Buddha mengakui keberadaan para dewa dan dewi serta
para mahluk halus. Meskipun demikian, umat Buddha sama sekali tidak
dianjurkan untuk meminta maupun memuja mereka. Umat Buddha hanya
mengetahui saja bahwa mereka adalah bagian dari para mahluk yang
terlahir di berbagai alam kelahiran.
Tanya 04 :
Apakah Agama Buddha terdapat manusia pertama?
Jawab :
Sebenarnya tujuan Dhamma Ajaran Sang Buddha lebih
cenderung dipergunakan untuk mengendalikan pikiran, ucapan dan
perbuatan. Dan, kemampuan seseorang untuk mengendalikan diri ini sama
sekali tidak ada hubungan langsung dengan pengetahuan tentang manusia
pertama. Tanpa mengetahui manusia pertama sekalipun, seseorang bisa
saja mencapai kesucian. Namun, dalam salah satu kesempatan, kepada
mereka yang telah mempunyai kemampuan batin dari latihan meditasi yang
tekun sehingga mampu mengingat berkali-kali muncul dan kiamatnya bumi,
barulah Sang Buddha menceritakan terjadinya manusia pertama. Cerita
Sang Buddha hanya kepada mereka yang mampu mengingat terbentuk dan
kiamatnya bumi ini agar ada orang yang bisa menyaksikan serta mengingat
sendiri peristiwa yang disampaikan Sang Buddha. Tentu saja, sikap Sang
Buddha ini berhubungan dengan pengertian dasar dalam Dhamma yaitu
‘datang dan buktikan’, bukan ‘datang dan percaya saja’.
Dalam kisah yang disampaikan oleh Sang Buddha,
manusia pertama bukan hanya satu atau dua orang saja, melainkan banyak.
Mereka bukan hasil ciptaan. Mereka merupakan hasil sebuah proses
panjang bersamaan dengan proses terjadinya bumi beserta
planet-planetnya. Seperti diketahui bahwa dalam pengertian Dhamma, tata
surya seperti yang dihuni manusia saat ini bukan hanya satu melainkan
lebih dari satu milyar jumlahnya. Masing-masing tata surya ketika
kiamat akan terbentuk lagi. Pada saat terjadinya bumi ini, datanglah
mahluk-mahluk berupa cahaya dari tata surya yang lain. Mereka berproses
bersamaan dengan proses pembentukan tata surya ini. Dalam proses
tersebut mereka tertarik mencicipi dan mengkonsumsi sari bumi, sari
tumbuhan dsb. Ketertarikan mereka menyebabkan tubuh cahaya menjadi
redup dan mulai terjadilah proses pembentukan tubuh, jenis kelamin,
persilangan serta keturunan. Dan, sekali lagi, manusia pertama karena
merupakan hasil proses seperti ini, jumlahnya tidak bisa ditentukan
lagi. Sangat banyak. Mereka berproses dan berevolusi secara lambat
sampai membentuk manusia sekarang. Hanya saja, dalam Dhamma juga tidak
membenarkan maupun menolak pandangan ilmu pengetahuan modern bahwa
manusia berasal dari monyet. Sikap ini sehubungan dengan kepastian
bahwa asal manusia dari monyet ataupun bukan sama sekali tidak ada
kaitan dengan keberhasilan seseorang untuk mencapai kesucian ataupun
Nibbana.
Tanya 05 :
Alam manusia di dalam Agama Buddha dikatakan sebagai alam yang paling baik untuk mencapai kesempurnaan. Kenapa demikian?
Jawab :
Dalam pandangan Dhamma, hidup sebagai manusia
mempunyai kesempatan lebih besar untuk menyaksikan ketidakkekalan.
Manusia mudah bertemu dengan yang tidak disuka dan berpisah dengan yang
disuka. Kejelasan akan ketidakkekalan ini mempermudah manusia untuk
membuktikan kebenaran Kesunyataan Mulia yang pertama yaitu hidup
berisikan ketidakpuasan. Dengan menyadari Kesunyataan Mulia yang
pertama, maka manusia akan mampu merenungkan bahwa segala sumber
ketidakpuasan adalah keinginan. Dengan demikian, timbul dalam batinnya
semangat untuk melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai Jalan
mengatasi ketidakpuasan. Pelaksanakan Jalan Mulia inilah yang akan
dapat membebaskan manusia dari kemelekatan sehingga ia dapat mencapai
Nibbana atau konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha. Kemungkinan besar
manusia mencapai kesucian dalam kehidupan inilah yang mendasari
pengertian bahwa terlahir sebagai manusia adalah sebuah kondisi yang
ideal untuk mencapai kesempurnaan.
Sedangkan di berbagai alam surga maupun alam
menderita karena jangka waktu bahagia dan menderita berlangsung sangat
lama maka para mahluk di sana tidak mampu melihat ketidakkekalan.
Mereka sulit menyadari adanya perubahan. Dengan demikian, merekapun
sulit untuk memahami Empat Kesunyataan Mulia dan mencapai kesucian di
alam surga maupun alam menderita.
Tanya 06 :
Saya setuju bahwa Nirwana bisa dijumpai dalam
kehidupan sekarang. Apakah mungkin bila tidak bertemu sekarang, orang
tidak akan mencapai Nirwana?
Jawab :
Nirvana atau Nibbana memang tidak
harus dicapai dalam satu kehidupan ini. Kalaupun seseorang masih belum
mampu mencapainya dalam kehidupan ini, ia hendaknya terus menerus
melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan, sehingga dalam satu masa
kehidupan yang akan datang, ia mungkin baru akan mencapainya. Namun,
sebelum mencapai Nibbana, seseorang yang terus melaksanakan Jalan Mulia
Berunsur Delapan dengan tekun pasti akan mendapatkan kebahagiaan di
dunia ini maupun kebahagiaan setelah kehidupan ini yaitu terlahir di
alam bahagia. Jadi, bagaimanapun juga, pelaksanaan Jalan Mulia Berunsur
Delapan selalu memberikan manfaat dalam kehidupan ini maupun kehidupan
yang selanjutnya sampai seseorang mencapai kebahagiaan tertinggi yaitu Nibbana.
Tanya 07 :
Nasib, apakah ada dan bagaimana cara menanggulangi, kiat mengatasi nasib?
Jawab :
Dalam pengertian Dhamma tidak dijumpai istilah
nasib, kodrat maupun takdir. Dalam Agama Buddha lebih dikenal istilah
‘kamma’ (Bhs. Pali) atau ‘karma’ (Bhs. Sanskerta). Dengan mengenal
berlakunya Hukum Kamma yang juga sering diartikan sebagai Hukum Sebab
dan Akibat, perjalanan hidup seseorang dapat diubah. Dasar pengertian
Hukum Kamma adalah mereka yang melakukan kebajikan akan memperoleh
kebahagiaan. Dengan demikian, semakin banyak seseorang melakukan
kebajikan, semakin besar pula kemungkinan dia untuk mendapatkan
kebahagiaan dalam kehidupan ini pula. Dengan demikian, seseorang yang
ingin hidup berbahagia, ia harus memperbanyak kebajikan dengan badan,
ucapan dan juga pikiran. Sedangkan, mereka yang telah hidup berbahagia,
ia hendaknya tidak pernah bosan untuk terus menambah kebajikan agar
hidupnya semakin berbahagia.
Sebagai contoh bahwa perjalanan hidup seseorang
dapat diubah melalui perbuatan (kamma) yang harus ia kerjakan saat ini
adalah kisah tentang seseorang yang dilahirkan dalam kondisi menderita
akibat kekurangan materi. Apabila ia dalam hidupnya mampu selalu
memperbanyak kebajikan, maka kondisi penderitaan yang dialami mungkin
saja berubah 180 derajad. Berubah total. Mungkin dengan berbagai
kebajikan dan kejujuran yang telah dilakukan akan mengkondisikan ia
mudah mencari kerja dan mendapatkan kepercayaan. Dengan demikian, dalam
waktu singkat, perjalanan hidupnya dapat berubah total. Mungkin saja,
ia menjadi orang yang lebih mampu daripada sebelumnya. Mungkin ia
bahkan mampu mengajak orangtuanya hidup bersama dengannya.
Sebaliknya, mereka yang terlahir dalam kondisi
kecukupan secara materi misalnya, apabila tindakan yang ia lakukan
tidak baik yaitu dengan melakukan pelanggaran lima latihan kemoralan,
maka hidupnya mungkin akan berubah total. Ia menjadi orang yang tidak
disukai lingkungannya. Ia menjadi orang yang tidak bahagia. Dengan
demikian, sudah jelas sekarang bahwa perbuatan seseorang atau kamma
sangatlah berperanan untuk mengkondisikan hidup seseorang menjadi
bahagia atau bahkan lebih bahagia serta mampu menghindari penderitaan.
Tanya 08 :
Kalau kita berbuat baik berdasarkan pamrih apakah itu juga akan ada karma baiknya?
Jawab :
Dalam kenyataan, setiap orang yang belum mencapai
kesucian atau terbebas dari ketamakan, kebencian serta kegelapan batin
pasti ia akan melakukan suatu perbuatan dengan pamrih. Memiliki pamrih
selama tidak dibarengi dengan kemelekatan, kiranya masih dapat dianggap
wajar. Oleh karena itu, dalam rumusan doa di atas disebutkan niat
”Semoga dengan kebajikan yang saya lakukan sampai saat ini akan
membuahkan kebahagiaan dalam bentuk ….” Sepintas ‘doa’ ini memang
tampak berpamrih, namun, sebenarnya rumusan doa ini dipergunakan untuk
mengarahkan para umat dan simpatisan Buddhis yang masih dalam tahap
awal agar mereka berkenan melaksanakan kebajikan secara lebih terarah.
Sedikit demi sedikit, apabila batinnya mulai meningkat dengan
pengertian Dhamma, maka ia pun akan bisa diarahkan untuk mencapai
kesucian atau Nibbana. Dalam tahap akhir seperti ini, semua tindakan
yang dilakukan tidak akan lagi mengharapkan pamrih. Semua tindakan
dilakukan demi tindakan itu sendiri. Kondisi ini seperti bunga yang
mekar demi mekarnya sendiri, bukan karena ingin diletakkan di tempat
yang bagus atau menghindari tempat yang buruk.
Adapun perbuatan yang berpamrih, sejauh masih dapat
digolongkan sebagai perbuatan baik yang mampu memberikan kebahagiaan
untuk banyak fihak, maka si pelaku masih tetap dianggap menanam kamma
baik yang pada suatu saat nanti akan ia rasakan buah kebahagiaannya.
Tanya 09 :
Dalam kenyataan hidup, kita selalu merasa
kurang. Punya uang puluhan milyar, juga masih kurang. Karena hidup ini
tidak kekal, contohnya, kalau kalah dagang atau bangkrut, belum tentu
besok ada teman kita yang mau menolong. Dalam hal ini mohon pengertian,
sehingga kita merasa cukup.
Jawab :
Pengertian ‘cukup’ memang bersifat sangat relatif.
Oleh karena itu dalam Dhamma sebagai ukuran minimal atau paling rendah
adalah kecukupan yang dialami oleh para bhikkhu. Para bhikkhu sudah
cukup dengan terpenuhinya kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal
maupun sarana kesehatan. Makanan para bhikkhu cukup sehari sekali atau
dua kali saja sebelum tengah hari. Pakaian cukup dengan satu set jubah.
Tempat tinggal cukup apabila sudah dapat membaringkan tubuh di goa
maupun di gubuk. Sarana kesehatan dengan menggunakan therapi urine
sudah cukup. Jadi, apabila seseorang telah mampu menyediakan sedikit
lebih dari keperluan minimal seorang bhikkhu, maka ia sesungguhnya bisa
disebut cukup. Namun, kalau sampai menyediakan secara berlebihan masih
terasa tidak cukup, hal itu lebih disebabkan karena adanya ketamakan.
Demikian pula dengan uang yang puluhan milyar, jika ia tidak mampu
mengendalikan diri dari keinginan, maka sesungguhnya ia sudah terjebak
dalam ketamakan.
Kalau seseorang kuatir gagal dalam usaha dan tidak
ada yang menolong, maka ia harus berusaha mandiri secara ekonomi dengan
menyimpan hartanya di tempat yang sesuai. Dengan demikian, ketika ia
bangkrut dan tidak ada yang menolong, ia masih bisa menolong dirinya
sendiri. Besarnya simpanan yang diperlukan tentu berdasarkan
kebijaksanaan, bukan karena ketamakan. Menentukan beda kebijaksanaan
dan ketamakan kiranya membutuhkan kesadaran tinggi yang tidak bisa
ditentukan oleh orang lain. Dalam Dhamma, semua ini bukanlah keharusan.
Memiliki uang sedikit bisa disebut cukup, memiliki uang puluhan milyar
bisa merasa tidak cukup. Semuanya berpulang pada kebijaksanaan diri
sendiri.
Tanya 10 :
Kalau kita sembahyang dengan saji-sajian
misalnya makanan, minuman dan buah-buahan apakah betul itu diterima
atau sebagai simbolis?
Jawab :
Sesajian yang dipersembahkan dalam upacara ritual
Buddhis sesungguhnya lebih bersifat tradisi dan simbolis. Kebiasaan
mempersembahkan makanan di altar Sang Buddha dimulai sejak Sang Buddha
wafat. Para murid yang sudah berpuluh tahun membantu Sang Buddha
mempersiapkan makanan, ketika Sang Buddha wafat mereka masih juga
mempersiapkan makanan yang disajikan serta dibereskan pada waktu-waktu
tertentu setiap harinya. Kebiasaan ini berlangsung turun temurun
sehingga akhirnya sampai sekarang masih banyak orang yang
mempersembahkan makanan, minuman maupun buah-buahan di altar Sang
Buddha maupun altar yang lain.
Persembahan makanan, buah dsb di altar lebih
ditujukan untuk melakukan penghormatan. Selain itu, persembahan juga
mempunyai makna simbolis atau lambang bahwa seseorang yang telah mampu
memberikan buah atau makanan yang terbaik di altar, hendaknya ia juga
mampu memberikan pikiran, ucapan serta perbuatan yang terbaik kepada
lingkungannya agar memberikan kebahagiaan serta kedamaian bagi semua
fihak.
Tanya 11 :
Apakah karma seseorang bisa diketahui dan bagaimana ciri-cirinya?
Jawab :
Dalam tradisi yang berkembang di masyarakat Buddhis,
kamma bisa saja dikenali dari wujud luar seseorang. Hal ini juga
disebutkan dalam salah satu syair Dhamma bahwa setiap orang dilahirkan
oleh kamma sendiri, dilindungi oleh kamma sendiri. Jadi, bentuk lahir
seseorang adalah bagian dari kamma yang harus dijalani. Oleh karena
itu, dalam masyarakat dapat dijumpai orang yang mampu, misalnya,
membaca garis tangan untuk menyebutkan masa lalu maupun masa depan
seseorang. Kemampuan ini disebabkan karena garis tangan juga merupakan
salah satu tanda bawaan kamma lampau. Tentu saja, metoda membaca garis
tangan yang merupakan salah satu upaya mengetahui kamma seseorang ini
bukan berasal dari Ajaran Sang Buddha melainkan bagian dari tradisi
suatu masyarakat. Sesungguhnya masih banyak cara yang bisa dipergunakan
untuk mengetahui kamma seseorang, namun, satu contoh ini kiranya sudah
dapat mewakili jawaban atas pertanyaan ini.
Tanya 12 :
Sekarang tentang meditasi. Apakah ada kemungkinan dan bagaimana melatih Samatha Bhavana sebagai umat biasa?
Jawab :
Dalam kehidupan sebagai umat Buddha, sangat
disarankan umat untuk berlatih meditasi secara rutin. Lakukan meditasi
setiap pagi bangun tidur dan malam hendak tidur. Lakukan meditasi
paling tidak selama 15 menit sampai dengan 30 menit setiap kalinya.
Adapun meditasi yang dapat dilakukan, sebagai dasar adalah meditasi
konsentrasi yang sering disebut sebagai Samatha Bhavana.
Latihan meditasi ini biasanya mempergunakan pengamatan dan perhatian
pada proses masuk keluarnya pernafasan yang berlangsung secara alamiah.
Jadi, meditasi tidak perlu mengatur pernafasan. Meditasi hanya
mengamati dan mengetahui saat nafas masuk dan saat nafas keluar. Jika
pikiran memikirkan hal yang lain, maka pelaku meditasi akan terus
berusaha untuk mengembalikan konsentrasi pikiran pada pengamatan proses
pernafasan kembali. Demikian seterusnya dilakukan sampai pikiran
benar-benar terpusat pada obyek meditasi. Apabila seseorang telah mampu
memusatkan perhatian pada obyek meditasi, maka ia bisa melanjutkan
tingkat latihan meditasi yang telah dicapainya dengan mengembangkan
kesadaran pada segala gerak gerik pikiran, perasaan, maupun badan.
Artinya, pelaku meditasi menjadikan segala yang terjadi pada badan
maupun batin sebagai obyek meditasi. Meditasi mengembangkan kesadaran
ini disebut sebagai Vipassana Bhavana.
Kedua latihan meditasi ini hendaknya sering dilatih
para umat Buddha agar semakin lama seseorang mengikuti dan melaksanakan
Ajaran Sang Buddha, semakin tinggi pula kesadaran yang ia miliki untuk
selalu mengamati gerak gerik badan dan batinnya. Kesadaran yang
maksimal tentang badan dan batin ini akan menuju pada tercapainya
kesucian yaitu Nibbana dalam kehidupan ini juga.
Tanya 13 :
Bagaimana cara menghindari pengaruh roh halus, setan dalam bermeditasi ?
Jawab :
Dalam bermeditasi, pada awalnya seseorang hendaknya
selalu berusaha memusatkan perhatian pada obyek konsentrasi, misalnya
proses masuk dan keluarnya pernafasan. Dengan demikian, apabila terjadi
‘penampakan’, pelaku meditasi hendaknya tidak menghiraukannya. Ia harus
tetap memusatkan perhatian pada obyek meditasi. Dengan mampu memusatkan
pikiran pada obyek, maka secara bertahap segala bentuk penampakan dan
gangguan akan lenyap dengan sendirinya.
Namun, pelaku meditasi tahap lanjutan boleh
mempergunakan kesadaran penuh untuk mengetahui dan mengamati adanya
gangguan mahluk halus. Pelaku meditasi hanya mengetahui saja segala
penampakan yang ada tanpa harus timbul rasa takut maupun benci. Dengan
pengembangan kesadaran yang tinggi, mahluk halus itupun akhirnya akan
lenyap dan tidak mengganggu lagi.
Namun, kalau pelaku meditasi masih belum mempunyai
konsentrasi maupun kesadaran yang cukup tinggi, maka ia boleh juga
mengucapkan berkali-kali dalam batin kalimat ”Semoga semua mahluk
berbahagia”. Kalimat ini adalah merupakan kalimat pemancaran pikiran
penuh cinta kasih yang merupakan sarana ampuh untuk mengkondisikan agar
para mahluk halus itu tidak mengganggu lagi. Dengan demikian, latihan
meditasi dapat dilanjutkan dengan pikiran tenang dan damai, bebas dari
berbagai ‘penampakan’.
Demikianlah semua pertanyaan sudah terjawab secara singkat.
Semoga uraian Dhamma tentang konsep Ketuhanan dalam
Agama Buddha dan juga jawaban atas berbagai pertanyaan di atas dapat
bermanfaat serta menambah keyakinan Anda pada Ajaran Sang Buddha.
Semoga keyakinan Anda akan menjadi pendorong untuk
selalu melaksanakan Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari
sehingga tercapailah kebahagiaan di dunia, kemudian, kebahagiaan
setelah kehidupan ini dan bahkan kebahagiaan Nibbana.
Semoga Anda selalu berbahagia.
Semoga semua mahluk yang tampak maupun mahluk yang
tidak tampak akan mendapatkan kebahagiaan sesuai dengan kamma baik yang
mereka miliki sendiri.
Semoga demikianlah adanya.
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta.